Jakarta, Kompas - Sekalipun Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis sudah disahkan, ”diskriminasi positif” masih tetap diperlukan. Kebijakan afirmatif dengan memprioritaskan kelompok tertentu semata-mata hanya untuk mengurangi ketertinggalan dan ketentuan itu pun tidak boleh bersifat permanen.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muridan S Widjojo, di Jakarta, Rabu (12/11), menyebutkan, ketentuan afirmatif itu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus Papua, di mana calon gubernur dan wakil gubernur Papua mesti orang asli Papua. Sementara dalam UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis ada jaminan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya tanpa pembedaan ras dan etnis. ”UU Otsus tidak bertentangan dengan UU Penghapusan Diskriminasi,” ujar Muridan.

Menurut Muridan, ada ketentuan bersifat umum (lex generalis) dan yang khusus (lex specialis). UU Otonomi Khusus Papua merupakan aturan yang khusus dan tidak bertentangan langsung dengan konstitusi. Ketentuan tersebut merupakan bentuk ”diskriminasi positif” yang telah disepakati secara nasional.

Mantan pimpinan Panitia Khusus RUU Otonomi Khusus Papua, Ferry Mursyidan Baldan, berpendapat bahwa pengaturan dalam UU No 21/2001 bertentangan dengan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua merupakan lex specialis yang dikhususkan untuk membangun kondisi yang berimbang dengan melindungi hak orang Papua.

 

Related Posts by Categories



0 komentar