HTI-Press (papua student). Belakangan ini banyak komentar yang masuk ke meja redaksi website Hizbut-Tahrir.or.id yang menganggap bahwa Hizbut Tahrir saat mengkritik OPM itu sama dengan membiarkan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Ada juga yang menganggap pernyataan HTI tentang memberantas gerakan disintegrasi sebagai legalisasi terhadap kejahatan tersebut. Untuk menanggapi masalah ini, berikut petikan wawancara redaktur Farid Wadji bersama Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto.

Apakah ketika Hizbut Tahrir menyatakan OPM harus diberantas berarti Hizbut Tahrir melupakan fakta bahwa telah terjadi pelanggaran kemanusiaan dan ketidaksejahteraan di Papua?

Ketika Hizbut Tahrir menyerukan kepada pemerintahan untuk berpegang pada pendirian menghukum tokoh gerakan separatis OPM dan memberantas gerakan sepratis itu sampai ke akar-akarnya tidak berarti itu merupakan dukungan terhadap kebijakan pemerintah yang nyatakanlah yang disebut melanggar HAM atau menimbulkan ketidakadilah secara politik dan ekonomi di Papua. Jelas ini dua hal yang berbeda, tetapi memang sangat berhubungan erat. Biasanya tumbuhnya bibit-bibit disintegrasi itu oleh karena ketidakpuasan masyarakat lokal terhadap kebijakan pemerintah pusat maupun daerah.

Kalau masayarakat di sana itu merasa nyaman berada di dalam pangkuan kesatuan wilayah Indonesia, tentu gerakan separatis tidak akan mendapatkan tempat di hati masyarakat. Tetapi sebaliknya kalau ketidakadilan, penindasan itu terus menerus berlangsung pasti keinginan untuk melepaskan diri akan tidak pernah hilang dari pikiran dan benak hati masyarakat di sana. Di situlah gerakan separatis OPM atau yang lainnya itu akan terus mendapatkan dukungan.

Artinya, pemerintah punya andil dalam berkembangnya gerakan seperatisme di Papua?

Ya, pemerintah punya andil, yaitu ketika pemerintah gagal mewujudkan keadilan dan kesejahteraan di sana. Karenanya, maka sebenarnya posisi Hizbut Tahrir itu di dalam konteks menanggapi surat 40 anggota Kongres itu memang fokus pada sikap terhadap intervensi asing tentang persoalan itu. Meski tidak disebut bahwa pemerintah itu harus melakukan langkah-langkah khusus, tentu yang kita maksud juga adalah bahwa pemerintah tidak boleh membiarkan terus berlangsung ketidakadilan dan penindasan secara politik maupun ekonomi di dalam wilayah Papua tersebut.

Tawaran Hizbut Tahrir dengan syariah, ketika hal itu dilontarkan di Papua bukankah itu justru nanti itu akan menjadi benih disintegrasi, karena masyarakat Papua yang mayoritas Kristen akan menganggap ini sebagai dominasi Islam terhadap mereka?

Opini semacam ini memang coba dikembangkan sebagai mesin pemanas semangat untuk disintegrasi. Jadi mereka menganggap bahwa kita perlu memisahkan diri dari Indonesia untuk menghidari dominasi Islam. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Mengapa? Karena syariat Islam itu justru akan membebaskan mereka dari ketidakadilan dan penindasan yang selama ini mereka alami.

Kalau mereka menginginkan keadilan, kalau mereka menginginkan ketenteraman, kalau mereka menginginkan kemajuan, syariat Islam itulah jalan yang harus ditempuh satu-satunya bukan dengan sistem sekular yang selama ini terjadi. Sistem sekular yang selama ini terjadi telah memberikan tempat yang sangat dominan bagi kekuatan modal baik dalam negeri maupun luar negeri.

Jadi sesungguhnya pemerintah ini telah katakanlah memberikan jalan bagi berlangsungnya eksploitasi. Banyak perusahaan-perusahaan multinasional, sebagaimana tampak dalam kasus Freeport umpamanya dan sebagainya itu telah membawa ketidakadilan karena sistem sekular. Syariah akan menghentikan segala model pengelolaan alam semacam itu.

Artinya, syariah itu akan melindungi dan menyatakan mendukung yang ada di Papua?

Ya. Pernah suatu ketika datang kepada saya wartawan dari majalah Kristen. Mereka menyampaikan kegelisahan warga Kristen terhadap seruan syariah. Saya waktu itu bertanya kepada mereka. Kegelisahan atau kekhawatiran apa saja? Tolong sampaikan! Mereka bilang, kami khawatir bahwa kami akan dipaksa masuk Islam. Saya jawab, itu tidak akan terjadi karena kita memberikan kebebasan beragama. Saya bilang, mau masuk Islam silahkan nggak juga nggak apa-apa.

Yang kedua, kami khawatir gereja kami akan ditutup. Itu juga tidak mungkin karena gereja itu bagian dari hak anda untuk beribadah, kami akan melindungi. Kemudian yang ketiga, kami khawatir kami tidak boleh makan babi dan minum minuman keras. Saya bilang, kalau menurut anda itu halal, silahkan saja asal tidak dijual bebas karena kalau dijual bebas itu sudah termasuk pada sistem ekonomi yang menurut syariah barang haram tidak boleh dijual bebas. Dia bilang, kami khawatir perempuan-perempuan kami harus berjilbab. Saya bilang, itu tidak demikian karena jilbab itu kewajiban bagi perempuan Islam. Apalagi, kami bilang sambil ketawa-ketawa.

Katanya kami juga khawatir harus disunat, dan sebagainya. Jadi kalau ini benar, point-point ini yang menjadi kekhawatiran orang-orang Papua terhadap syariah, yakinlah bahwa ini tidak akan terjadi. Saya bilang bahwa Syariat Islam itu dalam urusan privat akan tetap memberikan keleluasaan dan kebebasan bahkan perlindungan kepada warga non Muslim untuk menjalankan kehidupannya sesuai dengan agamanya masing-masing. Nah kalau begitu syariat Islam berkenaan dengan warga non Muslim itu dalam konteks apa? Dalam konteks kehidupan publik. Maksudnya apa?

Misalnya, soal pendidikan, kalau pendidikan itu menurut syariat Islam itu harus gratis, ini akan berlaku bagi Muslim juga non Muslim. Kalau menurut syariat Islam bahwa sumber daya alam itu harus kembali pada rakyat, ini akan berlaku bagi rakyat muslim maupun non Muslim.

Bagaimana dengan sentimen Kristiani yang sering diisukan di Papua, seperti bahwa Islam akan mendominasi, Kristen akan ditindas di Papua. Itu kan sering diangkat oleh LSM asing. Apakah ini sekedar provokasi atau seperti apa?

Ya, itu memang opini yang sering dikembangkan sama sebagaimana di Timor-timur dulu. Di Timor Timur dikembangkan opini bahwa telah terjadi Islamisasi. Padahal sesungguhnya yang terjadi adalah Katolikisasi. Mengapa? Karena sebelum Timor Timur bergabung dengan Indonesia tahun 1976, itu hampir 90% warga Timor Timur itu animisme dan dinasmisme. Kira-kira, katakanlah 20 hingga 15 tahun kemudian, pertumbuham agama Katolik sangat pesat, berubah hampir menjadi 90% itu Katolik.

Jadi yang terjadi sebenarnya Katolikisasi bukan Islamisasi. Nah opini yang semacam ini yang secara jahat dikembangkan. Di Papua kalau kita hitung itu perkembangan Kristen jauh lebih besar dari pada Islam karena kita hitungnya musti dari nol, dari kondisi awal masalah Papua seperti apa kemudian menjadi seperti apa. Bahwa Islam di sana juga pesat berkembang, ya itu konsekuensi dari keterbukaan, dari perpindahan penduduk.

Ingat juga bahwa agama Islam di Papua itu bukan agama baru. Seseorang dalam sebuah kesempatan ketika diwawancara ditanya mengapa anda ingin merdeka, apakah anda merasa bahwa anda itu sebuah entitas politik tersendiri sebelum Indonesia? Dia bilang ya, kami itu entitas politik. Berupa apa? Dia bilang berupa kerajaan. Kerajaan apa? Dia bilang kerajaan Islam. Di mana? Dia bilang di Maurake Selatan. Islam itu jauh lebih dulu datang daripada agama Kristen yang baru masuk beberapa waktu kemudian bersamaan penjajah di Manokwari. Sementara di Maruke Selatan sudah ada Islam dan kerajaan Islam. Nah, fakta-fakta sejarah semacam ini tidak pernah terunggkap, ditambah lagi dengan opini sesat seperti itu tadi.

Related Posts by Categories



0 komentar