JAYAPURA (PAPOS) –Mencuatnya polemik seputar kontrak eksport LNG Tangguh ke China yang ditengarai merugikan negara mendapat tanggapan Menteri Kelautan dan Perikanan Fredy Numberi. Menurut Laksda (Pur) TNI ini, yang paling rugi atas kontrak itu nantinya adalah orang asli Papua. Kendati demikian mantan Gubenur Irian Jaya (Papua red) ini setuju-setuju saja adanya eksport LNG Tangguh yang berlokasi di Teluk Bintuni tepatnya Babo itu, asalkan dengan catatan kontrak dari ekport itu yang harus diperbaiki.

Demikian diungkapkannya, menjawab wartawan di Jayapura, Senin (8/9) kemarin. Kehadiran Fredy Numberi di Jayapura dalam rangka memberikan materi pada Seminar Temu Ilmiah Mahasiswa Tekhnik (Timti) se-Indonesia yang ke-XIII di aula Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih.

Wapres sendiri menurutnya, minta kontrak diperbaiki karena dari aspek perkembangan di lapangan keadaan harga gas naik, sementara kontrak itu tidak menguntungkan Indonesia.

Jadi sebenarnya hal yang wajar bahwa sebagai bangsa Indonesia perlu minta diperbaiki, kalau bisa tidak perlu diprokontrakan. “Memang banyak orang menganggap kontrak itu sakral, kontrak itu tidak bisa diganggu gugat dan sebagainya. Tetapi sebagai bangsa, kita ingin dalam konteks membangun bangsa ini, hal-hal yang menguntungkan bangsa ini harus dibicarakan baik-baik untuk diperbaiki. Saya yakin kalau bicara baik-baik dengan pihak BP Tangguh, kita ajak untuk duduk bersama, mereka juga mau melihat karena mereka tahu bahwa itu bukan sesuatu yang keluar dari kita, dari konteks perkembangannya sendiri,” terang Numberi.

Ia menilai, adalah hal yang positif kalau bisa diperbaiki. Menurutnya, kontribusi positif untuk Papua harus ada, namun ia juga meminta Papua jangan dikotak-kotakkan dengan pemikiran Tangguh itu khusus untuk Papua Barat, Freeport untuk Papua.

Katanya, hasil dari dua perusahaan besar di tanah Papua ini, harus untuk kesejahteraan seluruh masyarakat Papua supaya bisa meningkatkan pendidikan, kesehatan.

Ia juga mengharapkan dana yang turun ke Papua lebih besar, juga dalam peningkatan SDM-nya dimana perusahaan-perusahaan raksaksa yang beroperasi di Papua itu, tidak mengkotak-kotakan bahwa bantuan hanya diperuntukan ke wilayah konsesi saja, tetapi harus memberikan bantuan untuk tanah Papua secara menyeluruh.

“Dengan demikian, di antara anak-anak Papua sendiri akan terjalin suatu komunikasi yang harmonis karena mereka dapat bagian dari Tangguh, mereka dapat bagian dari Freeport dan perusahan China dari Sorong, ini merupakan entitas yang menyeluruh,” kata Numberi kemudian.

Ia juga menyoroti tenaga kerja di dua perusahan tersebut, yang menurutnya menjadi masalah juga, seperti di BP Tangguh ada 9700 pekerja, diluar perusahan yang ada sekitar 10000 pekerja, namun putra Papua hanya sekitar 2500, artinya hanya sekitar 20 persen.

“Menurut saya masih kurang, karena yang merasa paling dirugikan adalah masyarakat orang Papua,” katanya.

Setelah tambang ini selesai, katanya lebih lanjut, karena kontrak kedua berakhir 2041, disisi lain tahun lahir dari Otsus juga membatasi bahwa Otsus itu diberikan dalam rangka bagi hasil selama 25 tahun.

Setelah 25 tahun, dana akan turun 50 persen, setelah itu turun lagi 25 persen. Momentum sekarang dengan dana yang memadai, menurutnya harusnya ditingkatkan SDM. Sebagai contoh Freeport, jangan hanya dibatasi pada 2500 tenaga kerja, kalau bisa ditingkatkan jadi 5000 supaya menjawab masalah di tanah Papua sehingga saat Freeport sudah tidak ada, tambang habis, kalau SDM-nya mumpuni, kita bisa menciptakan lapangan kerja sendiri.
“Kadang-kadang Freeport dari aspek bisnis saja dia melihat, jadi dia gunakan kacamata kuda, tidak boleh begitu kita. Dia harusnya membuka diri, kalau saya datang kesini, orang Papua harus disurvive, kalau sekarang 2700, kira-kira dilengkapi jadi 3000,” kata dia. Dengan demikian, saat kontrak berakhir tahun 2041, bisa ukur berapa orang Papua yang diserap di Freeport, karena selama sekian puluh tahun hanya 2500 tenaga kerja.
................................................
www.papuapos.com

Related Posts by Categories



0 komentar